Mekanisme Penyediaan Daging dan Rigor Mortis

loading...
Tugas Kuliah-Daging merupakan hasil dari produk peternakan. Daging banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk tujuan konsumsi. Daging mengandung nilai gizi yang tinggi yang dapat mencukupi kebutuhan gizi seseorang. Nah, karena pentingnya daging, maka perlu rasanya untuk mengetahui "Mekanisme Penyediaan Daging".
Dalam "Mekanisme Penyediaan Daging", biasanya daging yang disembelih mengalami kejang otot. Kejang otot ini sering disebut oleh dunia kedokteran atau dunia ilmiah dengan Rigor Mortis. Kedua hal ini akan di bahas pada Contoh Makalah  yang ingin saya share kepada teman-teman, semoga dengan ini Anda lebih paham mengenai kedua hal tersebut di atas. Silahkan menyimak baik-baik....!


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyediaan daging bagi konsumen merupakan salah satu kegiatan penerapan industri pada hasil ternak yang disebut sebagai agroindustri hasil ternak. Penanganan pascapanen dan penerapan teknologi pengawetan dan pengolahan daging merupakan kegiatan agroindustri yang diharapkan akan meningkatkan pendapatan pelaku usaha dibandingkan dengan kegiatan yang dilakukan ditingkat budidaya dari suatu sistem agribsinis peternakan sapi potong. Daging sebagai salah satu bahan pangan asal hewan, kualitasnya tidak hanya ditentukan oleh penanganan ternak semasa hidupnya (sebelum panen) tetapi juga tak kalah pentingnya adalah penanganannya setelah panen (pascapanen).
Prosedur pemotongan yang sesuai diikuti dengan pengkarkasan yang tepat dan dilanjutkan dengan "aging" (maturasi) yang layak dengan waktu yang optimal merupakan salah satu rangkaian yang seharusnya tak terpisahkan dalam penanganan pascapanen. Ada dua hal yang   perlu dipertimbangkan dalam penanganan pascapanen produk-produk hasil ternak untuk peningkatan mutunya yakni melalui pengawetan dan pengolahan. Dengan pertimbangan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada daging pascamerta ternak (post mortem) ditinjau dari penggunaan suhu rendah sejak ternak disembelih, dikaitkan dengan mutu yang dihasilkan maka pada materi ini akan membahas teknologi pengawetan dan pengolahan yang dapat dilakukan dalam rangkaian penyediaan daging dan produk olahannya, dikaitkan dengan peningkatan nilai tambah dan pendapatan pada akhirnya.
Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor).
Kelainan-kelainan mutu yang terjadi pascamerta ternak dapat dihindari jika pengetahuan tentang mekanisme rigor mortis dan perubahan pascarigor daging dapat diterapkan dengan baik pada penanganan pascapanen ternak. Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor).
Ruang Lingkup Isi
  1. Definisi daging: menjelaskan perbedaan otot sebagai energi mekanis dan otot sebagai energi kimiawi.
  2. Mekanisme penyediaan daging: sumber dan proses transformasi ternak hidup menjadi daging serta sirkuit pengadaan daging bagi konsumen.
  3. Membahas tentang sumber energi untuk kontraksi dan relaksasi otot, fase rigor mortis dan proses pematangan daging (aging).

BAB II
 PEMBAHASAN
MEKANISME PENYEDIAAN DAGING
Pengertian Daging
Definisi daging adalah kumpulan sejumlah otot yang berasal dari ternak yang sudah disembelih dan otot tersebut sudah mengalami perubahan biokimia dan biofisik sehingga otot yang semasa hidup ternak merupakan energi mekanis berubah menjadi energi kimiawi yang dikenal sebagai daging (pangan hewani). Kata otot dapat dipergunakan pada masa hidup ternak dan setelah mati tetapi kata daging selayaknya secara akademik dipergunakan setelah ternak mati dan otot telah berubah menjadi daging. Otot semasa hidup ternak dikenal sebagai alat pergerakan tubuh ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi, sehingga disebut sebagai energi mekanis dan karena tersusun dari unsur kimia maka disebut pula sebagai energi kimiawi. Setelah ternak disembelih dan tidak ada lagi oksigen dan otot tidak lagi berkontraksi maka otot dapat disebut sebagai energi kimiawi (pangan hewani)
Perubahan biokimia yang terjadi diawali dengan proses glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat dan dilanjutkan dengan proses maturasi (aging) ditandai dengan pengempukan pada otot sebagai akibat kerja enzim pencerna protein. Proses glikolisis pascamerta ternak disebut pula sebagai rigor mortis atau rigor (kekakuan) pascamerta. Perubahan biofisik yang terjadi pada otot pascamerta adalah kehilangan ekstensibilitas otot pada saat terjadi kekakuan dan pengempukan yang terjadi pasca kekakuan
Mekanisme Penyediaan Daging
Berdasarkan atas sumbernya maka dapat dibedakan daging warna merah (red meat) yang berasal dari ternak besar (sapi, kerbau) atau ternak kecil (kambing, domba) dan daging putih yang lebih sering disebut sebagai poultry meat (ayam, itik dan unggas lainnya). Pemberian nama sebagai daging merah atau daging putih (poultry meat) berdasarkan atas ratio antara serat merah dengan serat putih yang menyusun otot tersebut.; otot yang mengandung lebih banyak serat merah akan disebut sebagai daging merah. Dalam penyediaan daging, dari sumbernya, bagi kebutuhan konsumen dikenal melalui tiga fase perubahan /transformasi :
1.    Transformasi pertama meliputi proses perubahan ternak hidup menjadi karkas dan bagian bukan karkas (by product atau offal). Pada tahap pertama dari rangkaian penyediaan daging ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
a)    Kondisi ternak sebelum pemotongan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum ternak dipotong :
Kebersihan tubuh ternak
Pertimbangan utama adalah kebersihan kulit, sebab kulit merupakan sumber utama bagi kontaminasi bakteri pada karkas selama proses pemotongan dan pengeluaran isi dalam ternak (Rosset, 1982).
                      Kesehatan dan sanitasi ternak
Produksi daging yang higinis harus dimulai melalui pencegahan penyakit selama pemeliharaan dan penggemukan ternak. Ternak juga merupakan sumber utama salmonella dalam saluran pencernaannya, untuk itu maka pencegahan infeksi terhadap salmonella harus dimulai melalui kontrol pada pada makanan ternak sebagai asal dari kontaminasi tersebut (Hess, 1973).
              Keadaan Fisiologis
a.    Pengaruh pakan sebelum pemotongan
Komposisi ransum memperlihatkan pengaruh terhadap :
·         mikroflora pada saluran pencernaan ; pemberian ransum basal terdiri dari biji-bijian atau gandum yang diperkaya vitamin dan mineral selama beberapa minggu akan menurunkan jumlah bakteri Coli - aerogen dan Enterobacteri pada usus halus (Barnes, 1979).
·         mikroflora pada karkas sapi (bakteri psychotropes dan mesophiles). Penelitian Thomas et al. (1977) menggunakan empat macam perlakuan pakan pada sapi: 1) Hijauan, 2) 80 % konsentrat + 20 % hijauan selama 49 hari, 3) 80 % konsentrat + 20 % hijauan selama 98 hari, dan 4) hijauan. Setelah 46 jam pascamerta, ternak-ternak yang mengkonsumsi perlakuan keempat (hijauan) menghasilkan karkas dengan kandungan bakteri psychotrophes, khususnya Pseudomonas, nyata lebih rendah dibandingkan dengan karkas dari ternak yang mengkonsumsi perlakuan pakan lainnya. Pada waktu pascamerta yang sama, kandungan bakteri mesophiles adalah nyata berbeda diantara keempat perlakuan dengan susunan sebagai berikut
perlakuan 1 > perlakuan 2 > perlakuan 3 > perlakuan 4.
b.      Pengaruh pengangkutan sebelum pemotongan
Pengangkutan ternak ke rumah potong hewan (RPH) mengakibatkan sejumlah agresi psikik dan fisik. Sejumlah agresi ini akan memberikan konsekuensi terhadap kualitas saniter pada daging. Akibatnya sifat-sifat bakteriside pada darah hanya terjadi pada ternak-ternak yang dipotong dalam kondisi kesehatan yang sempurna selama beberapa jam setelah ternak mati. Namun ternak yang disembelih dalam keadaan darurat, karena luka atau kecapaian, mengakibatkan pengeluaran darah yang sangat sering tidak sempurna (Schulze et al., 1972).
c.   Pengaruh waktu istirahat sebelum pemotongan
Kontaminasi pada karkas dapat terjadi melalui tempat istirahat ternak sebelum pemotongan . Untuk itu tempat istirahat tersebut perlu secara teratur dibersihkan dan didesinfektan. Pemotongan merupakan suatu tahap yang penting dalam penyediaan daging tersebut.
Prosedur Pemotongan
Prosedur pemotongan meliputi teknik pekerjaan secara berurutan yang dilakukan dalam rangka perubahan ternak hidup menjadi karkas dan bagian-bagian yang bukan karkas dimana kesemuanya itu berlangsung di rumah pemotongan hewan (RPH). Secara berurutan dalam pengkarkasan ternak sapi, teknik yang dilakukan sebagai berikut (beberapa variasi bisa terjadi antara satu negara dengan negara lainnya) :
1.    Persiapan sebelum pemotongan
Dalam hal ini meminimalkan terjadinya luka memar dan menghindari terjadinya ketegangan sejak ternak diangkut dari peternakan sampai pada saat menurunkan ternak di tempat penampungan atau tempat istirahat di RPH sebelum pemotongan dilaksanakan.
2.    Ternak tidak berdaya (Stunning or Immobilization)
Metoda stunning lainnya adalah menggunakan bolt atau pin yan akan menusuk otak pada lokasi dahi ternak sapi tersebut. Stunning secara elektrik juga banyak digunakan dan menjadi pertimbangan untuk masa kedepan.
3. Penyembelihan/pengeluaran darah (bleeding)
Ternak dalam keadaan tidak sadar/tidak berdaya, secepatnya disembelih pada daerah kerongkongan persis dibelakang rahang sedalam mungkin untuk memotong vena jugularis dan arteri karotid.sehingga darah menyemprot keluar.
4.      Pengulitan
Ketika ternak sudah mati dan pengeluaran darah sudah sempurna, kaki depan dilepaskan dengan memotongnya antara patella dengan shank.
  1. Pelepasan kulit kepala
  2. Pelepasan kulit ekor
  3. Pelepasan kaki belakang
  1. Rumping
Pembukaan kulit dari kerongkongan sampai ke daerah flank diperluas ke daerah bung dimaksudkan untuk lebih memudahkan pengulitan yang akan dimulai pada daerah hindquarter.
  1. Penarikan kulit
Ada tiga tipe penarik kulit (hide puller) : 1) "up-puller", dimana menggunkan berat karkas untuk menstabilkan melawan tekanan dari penarik dan melepaskan kulit dari neck ke rump; 2) "down-puller" yang ditautkan pada kulit didaerah rump dan umumnya tidak memerlukan untuk pengulitan kepala (kecuali pada pejantan); dan 3) "side-puller" yang ditautkan pada kulit pada daerah perut (belly) dan menarik kedua sisi dari belly ke belakang.
  1. Pembelahan dada (brisket)
Brisket dibuka sepanjang garis tengah melalui tulang dada menggunakan ujung tumpul gergaji untuk mencegah kerusakan pada jantung dan paru-paru.
          4.  Pengeluaran isi dalam (evisceration)
Proses evisceration dimulai dengan terlebih dahulu membuka rongga pelvis dengan melakukan pemotongan antara otot-otot didalam round melalui membran yang tebal
          5.    Pembelahan Karkas (splitting)
Pembelahan karkas dilakukan dengan menggunakan tenaga gergaji yang berpisau timbal balik atau dalam beberapa hal digunakan gergaji lingkar (sirkular).
  1. Penyiangan karkas (trimming)
Bagian-bagian lain pada karkas yang mudah mengalami pembusukan harus dikeluarkan dari karkas seperti spinal cord, arteri besar dan vena pada bagian leher.
  1. Pengawasan (inspection)
Inspeksi dilakukan pada daging, viscera dan kepala terhadap kemungkinan terdapatnya hal-hal yang dapat mengakibatkan bagian-bagian karkas menjadi tidak higienis atau membawa penyakit.
  1. Pencucian (washing and shrouding)
Karkas kemudian dicuci dengan air bertekanan tinggi untuk menghilangkan darah dan kemungkinan kontaminan-kontaminan lainnya.
  1. Penimbangan (Weighing and grading/classification)
Penimbangan karkas dilakukan dalam keadaan hangat setelah pengkarkasan selesai sebelum karkas didinginkan (dilayukan).

  1. Transformasi kedua, merupakan proses pemotongan (cutting) bagian-bagian karkas menjadi whole dan retail karkas untuk mendapatkan daging dan bagian-bagian lainnya seperti lemak, tulang, aponevrose dan lain-lain. Meliputi proses cutting karkas menjadi whole cut dan retail cut, dimana pada akhirnya akan diperoleh daging sebagai bahan baku utama bagi konsumen (rumah tangga atau industri pengolahan daging) dan bagian-bagian lainnya seperti lemak, tulang, aponevrose dan bahan buangan lainnya. Sebelum dilakukan cutting beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan daging dengan kualitas yang tinggi :
a.  Pendinginan karkas yang masih hangat dan masih dalam keadaan pra rigor, sebaiknya dilakukan pada temperatur dimana tingkat kejadian pengkerutan otot paling minimal. Berdasarkan penelitian, diperlihatkan bahwa pengkerutan paling rendah terjadi jika dilakukan pendinginan pada temperatur antara 14 - 19 º C.
b.  Pendinginan pada suhu + 2º C, dilakukan pada karkas yang telah melewati rigor mortis selama beberapa hari, dimaksudkan untuk memanfaatkan kerja enzim proteolitik yang pada akhirnya akan meningkatkan keempukan daging (keterangan lebih lanjut pada bagian aging).
Pemotongan/Pembagian Karkas (Cutting)
Karkas yang telah dibelah menjadi dua pada saat pengkarkasan, selanjutnya dibagi menjadi empat bagian dengan masing-masing memotong dua bagian pada setiap belahan karkas. Pembagian karkas menjadi potongan utama (whole cut) dan potongan detail (retail cut), bisa berbeda diantara beberapa negara. Di Indonesia potongan karkas dilakukan berdasarkan metoda Australia dengan membagi menjadi 14 potong dalam tiga kategori :
  1. Enam potong pada bagian belakang (potongan pistol) ; 1) filet, 2) sirloin, 3) rump, 4) topside, 5) inside, 6) silverside
  2. Empat potong pada kategori kedua ; 1) cube roll, 2) chuck, 3) chuck tender, 4) blade
  3. Empat potong pada kategori ketiga ; 1) rib meat, 2) brisket, 3) flank, 4) shank.
Pengklasifikasian potongan-potongan karkas akan memberiklan perbedaan harga diantara kategori dan diantara potongan didalam kategori yang sama. 
Berdasarkan atas metode pemasakan pada daging, ada dua teknik pemasakan yakni pemasakan cepat yang diperuntukkan pada otot yang kualifikasinya empuk yang dimasak dengan metode kering; panggang, bakar, dan pemasakan lambat yang umumnya menggunakan media air dalam pemasakannya.
  1. Transformasi ketiga, merupakan proses pengolahan lebih lanjut dari bahan baku daging yang diperoleh pada transformasi kedua menjadi suatu produk akhir berupa daging olahan dalam berbagai macam ragam. Pengawetan dan pengolahan daging merupakan proses yang berlangsung ditingkat hilir dari suatu industri peternakan atau merupakan suatu subsistem dari agribisnis, yang sering pula disebut agroindustri. Kedua proses ini pada umumnya dilakukan selain bertujuan untuk mempertahankan daya simpan dari suatu bahan pangan yang muidah mengalami kerusakan seperti daging, juga dimaksudkan untuk mendapatkan nilai tambah melalui peningkatan kualitas (mutu) dari produk yang telah melalui pengoalahan dan pengawetan tersebut, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan.
Pengawetan Daging
Pengawetan daging dimaksudkan untuk mengurangi atau menghentikan sama sekali, sesuai dengan teknik yang digunakan, perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada daging segar atau produk olahannya selama proses penyimpanan. Beberapa teknik pengawetan yang sering digunakan dan diaharapkan akan meningkatkan mutu dalam keempukan dan citarasa :
1. Penggunaan suhu rendah
1.1. Pendinginan (refrigeration)
Pendinginan memungkinkan untuk menyimpan daging dalam waktu tertentu berkat aksinya dalam menghambat perkembangan bakteri tanpa membunuh bakteri. Pendinginan dimaksudkan pula untuk meningkatkan kualitas daging terutama keempukan dan citarasa yang terjadi selama proses penyimpanan karena adanya maturasi pada daging. Kecepatan terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada suhu dan kondisi ternak pada saat disembelih. Locker dan Daines (1975) memperlihatkan waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis pada otot Sternomandibularis pada suhu 37 C, 34 C, 24 C, dan 15 C, masing-masing secara berurutan 7 jam, 10 jam, 12 jam, dan 24 jam. Cold shortening yang terjadi karena pendinginan yang cepat dengan suhu sangat rendah pada karkas terutama pada potongan-potongan karkas dan daging mengakibatkan kealotan yang berarti. Untuk memperoleh tingkat maturasi yang baik, pada umumnya karkas sapi disimpan antara 10 – 15 hari pada suhu + 2 C sebelum daging tersebut di konsumsi. Untuk praktisnya, maturasi biasanya berlangsung selama 7 – 8 hari dengan alasan ekonomi. Abustam (1995) menyatakan bahwa perbaikan keempukan daging sapi Bali secara rata-rata dengan mengabaikan system pemeliharaan (penggemukan dan tanpa penggemukan) selama 12 hari maturasi sebesar 21,83 % dimana secara berurut-turut pada hari ketiga, keenam dan kesembilan sebesar 8,90 %, 13,90 %, dan 18,66 %. Perbaikan keempukan pada sapi tanpa penggemukan lebih baik daripada sapi penggemukan; secara rata-rata dari hari pertama sampai hari ke 12 sebesar 17,15 % pada sapi Bali pemeliharaan tradisional dan 14,49 % pada sapi Bali penggemukan.
1.2. Pembekuan (Freezing)
Pembekuan merupakan tahap selanjutnya dari penyimpanan daging setelah karkas melalui proses maturasi (aging) yang optimal dimana proses komplet rigor mortis telah terpenuhi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya cold shortening dan thaw rigor pada saat daging dicairkan dari kristal es yang meliputinya sebelum dimasak. Untuk pengawetan daging dengan menggunakan suhu sangat rendah, maka potongan – potongan karkas terlebih dahulu harus dikeluarkan tulang-tulangnya dan menghilangkan lemak dipermukaan karkas/daging, sehingga benar-benar daging yang dibekukan. Ini dimaksudkan selain untuk efisiensi tempat, juga dimaksudkan untuk menghindari peruabahan – perubahan yang dapat terjadi pada daging selama penyimpanan terutama lemak, pada suhu rendah masih dapat mengalami proses ketengikan.

.
Pengolahan daging
Pengolahan, pada dasarnya dimaksudkan penerapan teknologi proses pada suatu bahan baku yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk dari suatu bentuk yang masih utuh menjadi bentuk lain dari produk hasil olahan tersebut. Pada umumnya pengolahan akan meningkatkan nilai tambah sebagai kompensasi dari penambahan biaya operasional selama pengolahan dan juga akibat adanya peningkatan kualitas dari komponen yang digunakan pada produk olahan tersebut. Produk-produk olahan yang pada umumnya dilakukan pada daging adalah bakso, abon, dendeng dan sosis.
KONVERSI OTOT MENJADI DAGING
Pada saat ternak telah mengalami kematian maka otot yang semasa hidup ternak disebut sebagai energi mekanik dan energi kimiawi akan disebut sebagi energi kimiawi saja karena setelah rigor mortis terbentuk maka akativitas kontraksi tidak tejadi lagi. Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi). Produksi ATP dari  glikogen melalui tiga jalur yakni:
1. Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP
2.  Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus asam trikarboksilat yang menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H kemudian masuk ke rantai transport elektron dalam mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30 mol ATP.
3. Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron dalam mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan menghasilkan H2O dan 4 mol ATP.
Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi glukosa mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37 mol ATP.
Rigor Mortis
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Padas saat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat. Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati.
Fase Rigor Mortis
Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor mortis dan fase pascarigor.
Perubahan Fisik Pada Proses Rigor Mortis
Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis dan aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak ekstensible; pada ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat terasa alot.
Perubahan Karakter Fisikokimia
Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi. Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut sebagai cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat dimasak . Pada saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena adanya enzim Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi otot.
pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah rigor mortis terbentuk secara sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 – 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor mortis terbentuk memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan. pH asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding capacity) akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya ikat air yang tinggi.
Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah terurai).
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5 – 5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.
Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor mortis
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan tergantung pada:
1.    Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada kasus PSE (pale soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis sempurna.
2.  Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding dengan sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat menjelang disembelih.
3.    Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot yakni serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak yang tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah.

Maturasi (aging) Pada Daging
Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan dingin (2 – 5°C setelah ternak disembelih yang memberikan dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah rib dan loin. Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna protein. Ada dua kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses pengempukan ini yakni calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya calpain (µ dan m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok cathepsin yang aktif bekerja pada saat pascarigor.
Problem berkaitan dengan aging
Daging sapi menjadi busuk atau bau dan flavor yang menyimpang dapat terjadi karena:
1.    Pendinginan karkas yang kurang tepat.
2.    Karkas akan menyerap bau ruangan aging.
3.  Sanitasi yang kurang baik, dan kontaminasi dengan mikroorganisme menyebabkan bau dan flavor menyimpang dan pembusukan.
4.    Aging yang berlebihan akan menghasilkan akumulasi mikroorganisme.
5.   Pengkerutan akan terjadi selama maturasi. Makin lama maturasi, makin besar kehilangan berat.
6.  Maturasi pada karkas yang telah jadi (finished-carcasses) akan menghasilkan pengkerutan yang berlebihan, pengeringan pada daerah permukaan, dan diskolorasi. Pengeringan dan diskolorasi daerah permukaan harus dibersihkan dan dijauhkan. Penyiangan ini dapat berarti terhadap kehilangan yang dipertimbangkan pada produk.

BAB III
PENUTUP
Penerapan agroindustri hasil ternak melalui teknik penanganan pascapanen, pengawetan (pendinginan dan pembekuan) serta pengolahan daging yang dibahas pada materi ini lebih banyak mengacu kepada keadaan yang berlaku di negara-negara maju, yang secara praktek dapat merupakan acuan untuk diterapkan dinegara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Dalam rangka menghadapi pasar global, mau tidak mau kita semua harus memikirkan perbaikan kualitas daging agar nantinya produk kita mampu bersaing dalam pasar bebas nanti. Teknik penyembelihan disesuaikan dengan tuntutan ritual untuk menghasilkan produk halal tanpa mengurangi penerapan ilmiah untuk menghasilkan kualitas karkas/daging yang tinggi.
Penerapan suhu rendah pada daging segar selain dimaksudkan untuk memperpanjang lama simpan juga sekaligus akan memperbaiki mutu dari daging tersebut, yang pada akhirnya juga akan memberikan harga yang lebih baik. Demikian pula melalui pengolahan daging dengan memanfaatkan teknologi pencincangan, penggilingan dan pencampuran dalam membentuk suatu produk olahan akan meningkatkan nilai tambah dari bahan-bahan yang nilai ekonominya rendah tersebut, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dari para pelaku usaha terkait: peternak, pengolah dan retailer.
Konversi otot menjadi daging diawali pada saat ternak setelah mati dimana sejumlah perubahan biokimia dan bifisk terjadi pada rangkaian kegiatan proses terbentuknya rigor mortis dan dilanjutkan pada kegiatan pascarigor. Secara ilmiah otot baru dapat dikatakn daging setelah melalui perubahan-perubahan biokimia dan biofisik tersebut. Perubahan biokimia berupa proses glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat yang akan mengakibatkan kekakuan otot dikenal sebagai instalasi rigor mortis dan dilanjutakn dengan proses aging untuk memperbaiki tingkat keempukan daging. Sejumlah perubahan biofisik yang terjadi selama proses rigor mortis dan pasca rigor seperti perubahan-perubahan atribut yang berkaitan dengan kualitas daging: warna, citarasa, bau, dan keempukan.
Proses rigor mortis yang berlangsung tidak sempurna karena pengaruh sebelum ternak disembelih dan penanganan pascapanen yang tidak tepat dapat mengakibatkan kelainan mutu pada daging seperti DFD, DCB, PSE, cold shortening dan thaw rigor.



DAFTAR PUSTAKA
Abustam, E . 2008. Mekanisme Penyediaan Daging. http://cinnata.blogspot.com. Diakses pada 16 September 2011.

Abustam, E . 2008. Konversi Otot Menjadi Daging. http://cinnata.blogspot.com. Diakses pada 16 September 2011.






Terima Kasih atas kunjungan Anda di blog kami, kutukuliah.blogspot.com !





Silahkan Berkomentar jika ada yang ingin disampaikan ! !

Bila Anda ingin mendownload makalah ini sebagai referensi tambahan, silahkan klik link download gambar!
download makalah
loading...